Label

Minggu, 15 April 2012

PROLOGUE : ABOUT OUR PROMISE

Elapsed Time©Daiya

Matahari dengan teriknya menampaknya wajahnya yang bersinar seakan tidak peduli dengan banyaknya orang mengeluh dibawah sana. Ya, memang bukan sesuatu yang patut untuk dikoreksi . Sementara sang mentari sibuk memperhatikan banyak orang yang mengeluh dan menyibukkan diri ria, nampak seorang gadis berumur 5 tahun sedang menangis sendu. Dari atmosfernya, gadis berambut pirang itu diusik oleh beberapa anak seusianya. Ia hanya dapat berusaha melawan dengan tubuh mungilnya.

"Hahaha.. Liat dia menangis. Hei, hei, cewek jelek. Ayo kejar kami lagi dong ." ucap seorang bertubuh gempal yang sepertinya ketua geng itu.

"Huah!!! Kembalikan bonekaku!!!" tangis gadis itu meledak sekencang-kencangnya.

 --DUAGHH!!!!!!--

Sebuah lemparan batu tepat mengenai  lengan pucat gadis itu. 

"Uhh!!" mata mungil gadis itu sudah memerah dan sembab karena tangisannya.

"Bos, gimana nih masa dia gak mau ngejar?"

" Ya udah, lempar lagi aja batunya." jawab seseorang yang dipanggil ‘Bos’ tanpa pikir panjang.

"Baiklah bersedia, siap?"

"Uuhhh" gadis manis itu meringkuk ketika mereka bertiga bersiap mengambil batu tapi ...

-- Jduagh, Plakkkk!!!, Jdruakkk !!! - 
Telinga gadis itu menangkap  gelombang suara tak menentu dari arah disekitarnya. Tak lama, hanya 5 menit namun tidak sedikit pun anak itu berani berpaling dari kedua lututnya.

" Awas kau akan kulaporkan ke mamaku!! Huaaaaa!!!" teriak bocah ketua geng itu.

"Iya, hati-hati kalau ditengah jalan ya!!!"

" Pokoknya pasti kubalas kau!!! "

Teriakan bocah-bocah yang kalah perang terdengar dari arah gerombolan geng berat itu.

" Huft!!! Makanya, kalau jalan jangan lama-lama Fumi." ujar cowok kecil berambut silver yang keliatannya umurnya tak  jauh berbeda dari gadis itu. Lalu, setelah menghajar gerombolan tidak penting itu,  ia pun mengembalikan boneka beruang merah kepunyaan gadis itu.

"Tunggu dulu boneka ??!!! hyaaaaaaaaa!!! " dengan sigap anak lelaki itu melempar boneka beruang tersebut kearah gadis bernama Fumi tersebut.

"Ah Ha-chan!!!" teriaknya sambil melompat menangkap boneka beruang kecil yang terlempar itu.

"Huh,  gimana  sih Daiya?! Kalau Ha-chan luka, kan kasihan!" cibir cewek itu pada cowok yang 
berambut silver  yang  dipanggil ‘Daiya’

Dari pakaiannya dapat diketahui kalau perempuan itu bernama  Mizukawa Fumi, sementara sang cowok bernama Fujibayashi Daiya.

"Diam!!! Jauhkan aku dari boneka itu." teriak sang pahlawan tadi, ketakutan (?)

"Huh!!! Kau aneh, masa dengan bocah tadi berani tapi giliran dengan boneka gini aja takut " ujar sang cewek menggembungkan pipinya manja.
Lalu ........

"Inikan cute!!! " teriak gadis itu dengan penuh semangat .

" Terserah!!! Tidak peduli cute atau apa pun itu, cepat sembunyikan boneka itu Fumi!!”

"Iya, iya, Tuan pembenci boneka, hehehehe." ujarnya tertawa kecil sembari memasukan boneka kecil itu kedalam boneka.

"Dasar, seandainya kau menggunakan semangat mengerjaiku itu untuk menghajar mereka, tadi pasti kau menang." Ledek Daiya yang bertujuan untuk ‘mengelak’

"Uh, tapi mereka kan kuat. "

"Begitu kah?"
 ‘tapi kau kan lebih kuat ujar cowok itu dalam hati.

"Baiklah, ayo kita pulang." ujar Fumi dengan semangat yang jauh berbeda dari keadaan tadi. Terlihat sebuah senyum terlukis indah di wajahnya.

" Hmmm." sejenak air wajah Daiya menjadi bingung seakan berkata ‘Di-a-ke-na-pa? Eh?’ melihat perubahan mood teman dekatnya tersebut.

"Dasar freak." gumam Daiya datar.
Saat diperjalanan pulang keadaan hening. Hanya langkah-langkah kaki yang terdengar di sepanjang jalanan waktupun berlalu.

"Daiya ko diam aja, sih?" sindir Fumi tiba-tiba.

"Memang mau ngomong apaan ? Hm?"

"Ya apa aja, biar gak diam begini."

"Kamu aja bingung kan mau ngomong apa?" timpal Daiya tanpa menoleh ke arah Fumi.

" Err~ Aku ada ide!!!" balas Fumi semangat.

"Aku bingung tentang boneka beruang ini, padahal kamu takut boneka. Tetapi, kau justru memberikanku boneka beruang saat ulang tahunku kemarin." Ujar Fumi seadanya.

"Etto... Jangan salahkan aku, salahkan papaku!!" ujar Daiya kesal.

"Eh? Kok bisa nyalahin papamu, sih?"

-Flashback-

Ruang tamu rumah Daiya. Malam itu Pria separuh baya yang dipanggil papa itu terlihat sedang menyibukkan diri dengan lembaran-lembaran kertas yang bertumpuk, berisikan banyak tulisan yang membingungkan untuk ukuran bocah seperti Daiya.

"Pa, kalau temen ultah itu bagusnya kasih kado mobil mainan atau robot mainan?" ujar Daiya serius.
 "Temanmu cewek atau cowok?"
"Cewek sih.. Tapi-- "
"Hm, memang temanmu itu siapa? Calon istri masa depan ya?" ledek papanya sambil terus membuka lembaran koran.
"Papa! Aku kan cuma nanya aja emang salah, ya?"
"Hahaha.. Tak apa, hanya saja, tumben-tumbenan kamu mikirin temanmu." ujar ayahnya mengelus rambut Daiya.
"Kamu sekarang sudah besar ya?"
"Papa, udahan dong. Aku nanya serius masa dijawab beginian." ujar Daiya kesal karena diperlakukan seperti anak kecil oleh ayahnya tersebut.
"Hahaha, tak apa. Ya sudah, sekarang tenang aja pokoknya kamu nabung aja. Lalu nanti, berikan uangnya pada papa dan papa akan belikan sesuatu agar calon istri masa depanmu bahagia, bagaimana?" ujarnya tertawa.
"Papa!!!" teriak Daiya.
-End of Flashback-

"Begitulah, dan taunya aku mendapat kado itu, dan aku sama sekali tak tahu kenapa aku mau percaya papaku!!!" katanya mengakhiri ceritanya "Tau gak kamu? Begitu aku sadar kado itu boneka."
Tidak ada respon yang berarti dari Fumi, tapi tak lama Daiya mencoba kembali memecah keheningan 

"Aku langsung gak bisa tidur seharian." ujar Daiya yang mulai meratapi kembali puing-puing ingatan mengerikannya tersebut.

"Hahahaha, sudah dong Daiya kamu harus semangat. " ujar Fumi tertawa garing mencoba mengembalikan kesadaran Daiya kealamnya.

"Kamu gak ngerti, gak ngertikan? Penderitaan ku! Deritaku untuk memikirkan kalau kenyataanya aku harus membawa boneka, BO-NE-KA!! " eja Daiya seraya berteriak dengan pandangan mata yang kosong.

Dan--
-- PLAK! PLAK!! PLAK!!! --
3 tamparan dengan nada yang yang berangsur naik berhasil mengembalikan Daiya kealamnya.

"Uh, Kau ini. Sakit tau." Ringis Daiya pelan.

"Hahaha, sekarang udah aman kan" lagi-lagi Fumi tertawa garing.

" Fumi... "

" Yap?"

"Kau tau? Seandainya kau menggunakan tamparan itu pada rombongan tadi mungkin hasilnya akan lebih baik." ujar Daiya yang mengelus pipinya yang besar sebelah.

"Hahaha, oh ya, terus-terus, aku pengen nanya nih. "

"Nanya apa lagi sih, kok banyak amat? " teriak Daiya yang masih mengelus kedua pipinya yang membesar.

"Gimana kabar Sora? "

"Dia baik-baik saja,ngegemesin banget, cuman dia nakal, masa kemaren ngompolin aku." ujar Daiya seraya memajukan bibirnya. Dengan cara bahasa seorangg anak kecil yang senang ketika berbagi cerita tentang adik kecilnya.

"Hahaha,  itu sih derita kamu sebagai kakak." ujarnya tertawa puas.

"Iya, mana dia gak tau udah besar, masih aja serasa masih kecil!"

"Eh, memangnya umurnya berapa?"

"Umurnya 4 tahun. " ujar Daiya suram.

"Hahaha, deket juga sama kamu ya. Hati-hati loh kalau ditimpahnya pasti sakit " ujar Fumi menertawakan Daiya.

"Iya, ya terserah kamulah. Tapi enak ya? Kamu kan anak tunggal, pasti paling disayang."
Perasaan tak menentu menghinggapi Fumi, membuatnya terdiam. Mencoba kembali mengingat apa yang sering ia alami dirumah, yang ia lakukan sendiri. Kesepian , itulah yang ia rasakan.

"Ah, nggak juga,  justru kesepian. Aku iri, aku pengen punya adik, biar gak kesepian." ujarnya pelan

"Oh... " respon Daiya seadanya.

‘Kesendirian itu segitu menyebalkannya, ya? Bahkan, dia pun sampai berkata seperti ini.’ pikir Daiya.

"Oh ya. Daiya, aku ingin bertanya sesuatu. Boleh?"

"Nanya apaan? Kalau PR besok aja, ngerjain bareng disekolah." Balas Daiya yang mencoba menebak arah pikiran seorang Mizukawa Fumi.

"Bukan itu! Dan juga mestinya PR itu kerjain dirumah, bukan disekolah Daiya!" simbol cross muncul secara mengejutkan dikepala Fumi .

"Iya iya, jadi apa yang pengen ditanyain?" ujarnya acuh.

"Etoo..." Sesuatu yang mengganggun Fumi, tertahan ditenggorokannya. Entah apa, tapi itu mengubah raut wajah Fumi dengan drastis.

"Soto? Kamu laper ya?" tanggap Daiya cepat.

"Bukan itu!!"

"Makanya, ngomongnya yang jelas dong." teriak Daiya yang menatap matahari senja yang mulai menampakan keindahannya.

"Daiya, menurutmu aku jelek?" kata Fumi pelan dengan sedikit tersipu.

"Eh? Maksudmu? " ujar Daiya yang masih bingung dengan pertanyaan dari temannya yang kurang jelas itu.

"Etoo... Aku cuma tanya, apa aku ini jelek ya!? dasar baka!" ujarnya dengan "sedikit" berteriak dikuping telinga Daiya.

" ............. " tiba-tiba pemandangan berupa bintang-bintang terpancar dari matanya

"Hei, Daiya!! " ujar Fumi yang kali ini lagi-lagi menampar Daiya.

-- PLAK! PLAK! PLAK!--

" Sakit." Ringis Daiya yang ketika selesai menerima tamparan dari Fumi untuk keenam kalinya.

"Makanya, jawab yang bener dong!"

"Eh.. Go.. Gomen ." ujar Daiya yang mulai kehilangan starvisionnya setelah terkena smash kuat dari Fumi.

"Etto... Gimana ya? Aku harus menjawabnya? Tapi, sebelumnya aku nanya dulu. Kenapa kamu nanya hal seperti itu?"

"Ano, itu soalnya .."

"Soalnya kenapa? "

"Soalnya .."

" Ya?"

"Tadi semua teman kelasku menghinaku kalau wajahku ini jelek,aneh, beda dengan yang lain apa lagi warna rambutku yang aneh ini. Mereka juga mengatakan kalau tidak akan ada yang mau menikah denganku." ujarnya sendu sambil menahan menangis.

"Oh, masalah itu tenang saja. Kamu cantik kok, apalagi kalau kamu nangis kayak  tadi" ujarnya sambil mencubit hidung Fumi dan menjukurkan lidahnya. Ya, hanya itu tindakan tercepat yang didapat Daiya sebelum bulir-bulir air itu mengalir dari mata shappire Fumi.

"Daiya!! Nanti kulempar Ha-chan kamu, kalau masih nakal!!!"

"Eh, jangan!!" ujar Daiya yang langsung mengeluarkan bendera putih’ tanda menyerah.

"Huh, dasar aku ini nanyanya beneran tau! Apa aku bisa menikah nanti ya?" gumamnya sambil melangkah kecil.

"Tenang saja kamu itu cantik kok! Bahkan aku yakin kamu bakal jadi cewek termanis dikota ini." ujar Daiya sambil mengacungkan kedua jempolnya

Kriiik kriik krikk suara simfoni jangkir terdengar.

"....................."

"Aku serius!!" tambahnya sambil lagi-lagi mengacungkan jempolnya.

"Huh, benarkah? Kalau begitu, etoo, begini aku mau nanya." Putusnya, nada ragu terdengar dari mulutnya "Aku mau nanya.. " lanjut Fumi dengan serius sambil menatap Daiya.

" ................... " Daiya hanya bisa terdiam saat dipandangi oleh Fumi dan difikirannya saat itu.

‘Sial! Kenapa mukanya moe banget, sih?!’ yang mengakibatkan mukanya memerah.

"Anoo, maukah kau menjadi suamiku nanti, jika kita sudah besar nanti?"

---JDEERR!----

Tiba-tiba terdengar suara petir yang entah dari mana asalnya. Membuat lukisan merah indah seindah matahari yang bersinar saat itu.

"Etoo... Kok bisa ada petir, padahal cerah gini??" ujar Fumi yang terdengar ‘bodoh’?
Sementara air wajah Fumi yang terlihat ‘bodoh’

Wajah Daiya memerah dengan ‘indah’nya bagaikan kepiting rebus dilumuri saus tomat yang siap di makan.

"Eh, ehe tu-tung-tunggu duullu. Aa-apa y-ya-yaa yya-aang kau kata-katak-katak katak..." teciptalah sebuah kalimat ‘indah’ nan ‘penuh melodi’ berhamburan dari mulut bocah lelaki berambut silver itu.

"Katak-katak? Nanti jadi kodok, loh!" ujar Fumi sweetdrop.

"Eh?  Kodok, kodok? Bentar-bentar apa tadi kamu bilang?"

"Maukah kamu menjadi suamiku jika kita sudah besar nanti?"

" ..................... " lagi lagi syndrome blushing ria menghampiri Daiya.

"Hei Daiya!! " ujar gadis itu dengan menggembungkan pipinya.

" Itu-- bagaimana ya? " ujarnya terdiam.
Senyum dari wajah Fumi terhapus, ia tertunduk berusaha menahan air mata yang bersiap berjatuhan dari pelupuk mata shappire "....... ternyata benar ya, aku memang jelek. Ya?" kaki kecil miliknya melenggang mundur menjauh.

"Bodoh! Bu-bukan sepe-seperti itu! Hanya saja--" ujar Daiya yang terbata-bata karena panik merasakan suhu tubuh Fumi yang terasa menjauh.

"Memang kenapa? " ujar gadis itu sendu, menatap Daiya dengan sayu.

"Aku hanya bingung saja, kenapa kau ingin sekali cepat-cepat menikah?" ujar Daiya yang kembali normal meski mukanya merah tomat.

"Aku ingin ada teman, aku ingin punya bayi dan aku menginginkan kesibukan untuk menjaga bayi itu"

"Aku kesepian, selalu kesepian. Dirumah aku selalu saja dibiarkan, ibu pulang malam dan ayah pun tak tahu kapan dia pulang." dan sejenak iya mengambil nafas.

"Karena itu, aku ingin punya teman yang bisa diajak bermain dirumah, dan aku tak kan kesepian lagi." air matapun mulai mengalir dimatanya.

"Etto..." Daiya terpaku mendengar cerita Fumi.

"Ah, aku mengerti. Bagaimana kalau begini saja, mulai besok menginaplah dirumahku, kapan pun kau mau." ujar Daiya.

"Eh....??!!?? "

"Ya, dengan begitu kau tak perlu kesepian. Kau bisa bermain juga dengan adikku dan membantuku merawatnya." ide gila itu mungkin akan membunuhku pikir Daiya tapi jika hal ini bisa membuat gadis kecil itu tersenyum aku akan—
Melakukannya.

"Hei? Apa katamu? Hontou? Benarkah?" Timbal Fumi antusias.

"Tentu saja, aku akan membujuk mama dan papa agar mengijinkan kau tinggal dirumahku. Jadi, kau 
tak perlu kesepian lagi." ujar Daiya sambil tersenyum tak lupa two thumb up ditambahkan.

"Ah! Terima kasih banyak Daiya-kun." ujarnya tersenyum lebar.
Sementara Fumi tersenyum lebar, Daiya hanya bisa mengumpat dalam hatinya ‘Sial! Lagi-lagi terjadi! Senyumnya manis! Aku benci situasi ini!’

" Hei Daiya, kamu kenapa? Mukamu merah sekali? " ujar Fumi yang belum menyadari dialah sumber merahnya muka Daiya.

"Ettoo... gak apa-apa aku cuma lelah mungkin, hahahaha." katanya sambil ketawa garing untuk menghilangkan rasa malunya.

"Baiklah, ayo kita cepetan pulang lukamu mesti diobatin, tuh " ujar Daiya sambil menunjuk tangan Fumi yang berdarah.

"Etooo... ini gak apa-apa kok." ujarnya tersenyum.

"Dasar ya? Udah, pokoknya aku bakal ngebujuk mama papa, biar kamu bisa nginep dirumahku, jadi besok mesti sehat ya?!"

"Iya, tenang saja. Oh ya, Daiya?"

"Apalagi?" ujar Daiya yang mulai berlari menjauhi Fumi.

"Kamu belum jawab pertanyaanku sebelumnya, ya kan?"

"Ah, itu? " ujar Daiya yang mulai mencoba berlari.

"Aku tak akan melepaskanmu Daiya! " aura devil mulai keluar dari tubuh Fumi yang menahan tangan Daiya kebelakang.

"Hei Fumi, lepaskan! Huh seandainya saja kau mengeluarkan tenaga ini pada 3 orang tadi mungkin akan lebih bijak, daripada kau gunakan tenaga ini padaku " teriak Daiya yang tak berdaya.

"Baiklah! Sekarang ayo jawab!” Paksa Fumi.

"Ettoooo...  Ya aku.. Maaa .. u " ujarnya sambil tersipu malu.

"Eh aku gak denger jelas, ayo ulangin."

"Oke! Oke! Aku MAU!!! Aku mau jadi suami kamu, kalau kita udah besar!" teriaknya dengan muka yang kembali menjadi semerah tomat, oh tidak, bukan tomat lagi tapi, tomat busuk.

" Sungguh???"  ujarnya lemah

"Sungguh, hm?"

"Terima kasih banyak Daiya!" ujarnya melepas cengkraman sambil mulai berlari menjauh dari tubuh terkapar Daiya.

"Hei Daiya? Apa kamu tahu, aku senang sekali bisa bertemu dengan kamu dan juga .. " suaranya menggantung.

"Pokoknya, kamu jangan lupa janji kamu ya, Daiya?!" dan diapun menghilang dibalik mentari senja yang juga mulai meredup.

Dimalam harinya
Sambil memikirkan kejadian tadi sore, dan setelah sekian lama berjam-jam diinterogasi dan dijahili oleh ayahnya tentang siapakah wanita yang akan diajak menginap dirumahnya tersebut Daiya pun beranjak dan mencoba tidur diatas futonnya.

"Akhirnya.” Katanya singkat sambil menghela nafas “Semua selesai, tapi tunggu dulu, apa yang kukatakan tadi?! Benarkah aku mengatakan itu? Bagaimana ini?! Bagaimana aku harus bersikap nanti saat kumenemuinya?!"  Raut wajah Daiya mulai panik mengingat apa yang ia katakan tadi sore.

"Huh, tapi tak apa. Aku sudah meminta ijin dari papa dan mama kurasa besok aku bisa menemuinya dengan tenang. Tapi, tapi, menikah? Aarrggghh! Apa yang harus kulakukan?!" dan malam itu Daiya pun dengan suksesnya tidak bisa tidur dengan nyaman karena pikirannya akan kejadian sore itu tapi—

Keesokan harinya.

Diruang kelas yang berisikan 32 anak kecil itu seorang gadis berambut blonde dengan raut muka yang suram sedang berdiri dari mukanya terpancar kalau dia sangatlah ingin menangis.

 "Fumi, silahkan ucapkan kata-kata perpisahan pada temanmu." ujar wanita separuh baya yang berdiri di dekat Fumi. Gadis itu terlihat mengeluarkan air mata ketika dia berdiri didepan ruang kelas.
"Aku sangat berterima kasih kepada teman-teman yang telah menjaga dan mau bermain bersamaku disini, maaf aku gak bisa lebih lama berteman dengan kalian lagi." ujarnya dengan setengah menahan isakan tangisnya.

"Tapi, aku janji bakal tetap mengenang dan ingat kalian semua." ujarnya dengan air mata yang mulai membasahi pipinya dengan deras.

"Maafkan aku karena tak bisa bermain dengan kalian lagi!!" kata-katanya terputus "Dan makan bersama kalian lagi." lanjutnya.

"Dan terakhir. Aku.. Aku sangat senang bisa berteman dengan kalian semua!" ujarnya yang sekarang benar-benar menangis.

"Baiklah, sekarang kau sudah mengatakannya, ayo kita pulang." ujar seorang perempuan pirang berpakaian rapi seperti wanita satunya, yang sepertinya ibu dari Fumi.

‘Ini semua menyedihkan, aku tak bisa membiarkan ini terjadi, dia kan janji mau main bersamaku, mau menjaga adik bersamaku dan, mau menginap dirumahku.’ Lirihku dalam hati. Ya, aku tahu aku memang seorang pria, tapi, aku tidak bisa menghindari semua ini.

Tiba-tiba Daiya berdiri tegak yang membuat 32 pasang mata mengarah padanya. "Fumi!! Aku sudah menepati janjiku. Karena itu, sekarang tinggal kau yang menepati janjimu padaku!! Karena itu, kalau tidak sekarang aku akan menunggu sampai kau bisa menepati janjimu padaku. Pokoknya kalau kau tidak menepatinya aku akan menganggap bukan temanku lagi!! " ujarnya sambil mengangkat jempol tangan kanannya.

Meski sempat kaget dengan apa yang Daiya katakan padanya, ia pun akhirnya kembali bisa menunjukan wajah tersenyumnya itu.

"Ah iya!! Aku inget kok dan aku akan menepatinya, aku janji, aku pasti melakukannya. " ujarnya dengan tersenyum sambil menghapus air matanya.

"Ya! Aku akan tunggu, aku akan menunggumu. " ujar Daiya pelan yang masih ditatapi oleh manusia-manusia didalam kelas itu.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-Present-
"Fumi Mizukawa menggelar konser besar-besaran di Shizuoka "
Diruangan berukuran 4x3 tersebut dengan meja makan yang tersusun rapi serta 2 buah kursi yang berjejer, menunjukan bahwa penghuni tempat itu yang hanya dua orang dan ditengah ruangan itu seorang cowok berambut silver membaca koran itu sambil bergumam.

"Aku selalu mengatakan padamu kalau kamu cantik kan, dan aku tak bohong kan Fumi, hehehe."
Kegiatan merepotkan yang di sebut ‘membaca koran’ itu terhenti karena telinga Daiya menangkap suara ‘menyusahkan’ dari arah lain. Seorang gadis yang juga berambut silver pendek  datang dan ‘merusak’ konsentrasi.

"Kakak! Cepetan dong, masa dari tadi hanya membaca halaman depan koran?" ujar gadis berambut silver sambil mengambil paksa koran dari tangan pria itu.

"Itaai" ringis Daiya "Eh itu-- tunggu dulu dong."

"Cepetan kakak, kita ini dapet beasiswa jadi gak boleh telat dong! Jangan malu-maluin, kalau mau baca nanti aja! kalau udah pulang." Teriakan ‘urusai’ itu meledak tanpa henti bagaikan kereta tanpa masinis.

"Iya, iya tapi itu kan ... "
Dan dengan cepat tangan gadis itu menyeret tangan sang cowok yang hanya bisa pasrah dengan perlakuan adiknya tersebut.

"Kenapa? Aduh, kita gak bakal nemu tiket gratisan buat nonton konser Fumi kakak, mahal tau!! Kita mesti hemat! Hemat !! Hemat!!! Lalu bla.. bla.. bla.."

"Fiuh~ Padahal dulu, dia manis tapi sekarang --" ujar Daiya dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Dan dipagi yang cerah itu Daiya dengan terpaksa mendengar celotehan adik kecilnya dulu selama perjalanan berangkat kesekolah.

TO BE  CONTINUED

Tidak ada komentar:

Posting Komentar